Wednesday 12 December 2007

Senjakala Pasar Tradisional?

Oleh Sri Hartati Samhadi

Pasar selama ini sudah menyatu dan memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat, pasar bukan hanya tempat bertemunya penjual dan pembeli, tetapi juga wadah interaksi sosial dan representasi nilai-nilai tradisional yang ditunjukkan oleh perilaku para aktor-aktor di dalamnya. Meski dari jumlah masih mendominasi sektor ritel, tanpa intervensi pemerintah, pasar tradisional tidak lama lagi mungkin akan tinggal sejarah, terutama di wilayah perkotaan.

Ritel dan pasar-pasar tradisional dewasa ini bukan hanya menghadapi persaingan dengan sesama ritel tradisional dan ritel atau pasar modern, tetapi juga regulasi dan perlakuan pemerintah yang kurang bersahabat.

Eksistensi sektor ritel tradisional dan pasar tradisional mulai goyah, sejalan dengan ekspansi dan invasi pesat sektor ritel dan pasar modern yang kian menemukan momentumnya dengan liberalisasi sektor ritel tahun 1998 yang mengeluarkan bisnis ritel dari daftar negatif investasi.

Fenomena globalisasi memang tak bisa dibendungi. Demikian pula perubahan perilaku dan kebiasaan masyarakat konsumen dalam berbelanja. Namun, beberapa tahun ini ekspansi sektor ritel cenderung kebablasan. Di sektor ritel selama ini, ibaratnya berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia menang, tanpa ada wasit penengah.

Penyebabnya, selama ini tak ada regulasi yang jelas di sektor ritel. Kalaupun ada regulasi, aturan-aturan seperti zonasi yang dibuat dalam rangka melindungi pelaku usaha ritel kecil dan pasar tradisional dengan mudah ditabrak.

Akibatnya, tidak heran ritel modern ibarat jamur di musim hujan, menyeruak sampai ke tengah permukiman penduduk, menggusur warung-warung kecil dan pasar tradisional yang sudah jauh lebih dulu ada.

Iklim persaingan

Ketua Umum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhamad Iqbal melihat terancamnya eksistensi pasar atau ritel tradisional sekarang ini lebih sebagai akibat tidak adanya persaingan yang seimbang (level playing field) ketimbang persaingan tidak sehat. Selain itu, kebijakan pemerintah di sektor ritel juga ikut memperburuk keadaan.

Salah satunya, seperti dalam kasus Indomaret, Carrefour dan hypermart lain, pemerintah dengan mudahnya memberikan izin kepada peritel-peritel modern untuk mendirikan usaha bisnis ritelnya di lokasi yang berhadapan langsung dengan pasar tradisional atau pelaku usaha ritel kecil.

"Ibarat tinju, petinju kelas berat berhadap-hadapan dengan petinju kelas ringan. Sudah pasti yang kelas ringan mati. Itu bukan kompetisi namanya," ujar Iqbal.

Di negara mana pun, kata Iqbal, menciptakan level playing field menjadi domain pemerintah. Namun, di sini, pemerintah terlalu asyik "memburu investor" sehingga lengah. Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir, sudah ribuan pasar tradisional mati. Tak terhitung jumlah pedagang atau tenaga kerja lain yang menggantungkan hidup padanya ikut kehilangan mata pencaharian.

Dengan kekuatan modal, teknologi dan sistem yang dimilikinya, jaringan ritel modern dengan mudah membuat lobi-lobi dengan pemerintah serta melakukan berbagai praktik dan strategi untuk menggempur pasar yang tak mungkin ditandingi oleh ritel tradisional. Ini yang sering diartikan sebagai bentuk praktik persaingan tak sehat oleh masyarakat.

Untuk menarik pembeli, menurut kajian lembaga penelitian SMERU, misalnya, mereka melakukan berbagai strategi harga. Seperti strategi limit harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing), dan diskriminasi harga antarwaktu lewat pemberian diskon pada akhir pekan atau waktu tertentu.

Selain itu, strategi nonharga juga dilakukan lewat iklan, membuka gerai lebih lama (terutama pada akhir pekan), pembelian secara gabungan, dan pelayanan parkir gratis. Varian barang yang dijual pun juga semakin beragam. Praktik-praktik usaha ini tidak hanya memukul sesama ritel modern yang menjadi pesaing, tetapi juga ritel kecil dan tradisional, terutama yang menjual jenis barang yang sama.

Dengan kekuatan modal dan jaringan yang dimiliki, industri ritel modern (khususnya yang besar) juga mampu membalik posisi dari yang tadinya mereka tergantung pada kekuatan pemasok menjadi pemasok yang kini tergantung pada mereka.

Mereka secara semena-mena mendikte persyaratan perdagangan (trading term) dengan para pemasoknya. Persyaratan perdagangan yang dikenakan sering kali tidak ada kaitan dengan barang yang dipasok dan cenderung disalahgunakan (abused), seperti dalam kasus Carrefour. Korbannya di sini adalah para pemasok lokal yang umumnya usaha kecil menengah (UKM) yang tak cukup memiliki daya tawar (bargaining position).

"Hukum rimba" sektor ritel ini membuat orang banyak berharap pada Peraturan Presiden tentang Pasar Modern yang rencananya akan diterbitkan oleh pemerintah pada pekan kedua November (molor berkali-kali dari target sebelumnya, terakhir terkendala benturan dengan perpres lain).

Selain zonasi (zoning) atau pengaturan zona dan lokasi ritel modern dan tradisional yang diintegrasikan dengan rencana umum tata ruang (RUTR), poin penting dari perpres ini, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, adalah adanya penekanan terhadap aspek kemitraan antara ritel modern dan ritel tradisional, ritel besar dan ritel kecil, serta antara pusat perbelanjaan atau toko modern dan pedagang atau pemasok.

Perpres juga mengatur bentuk persyaratan perdagangan atau kontrak bisnis yang diperbolehkan, yang dinilai adil. Untuk mendukung terwujudnya ini, akan dibentuk forum pemberdayaan. Selain itu, poin penting lainnya adalah aspek perizinan. Nantinya, seluruh perizinan pendirian usaha ritel akan diserahkan pada pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota.

Pemberdayaan

Namun, seperti diakui Mari, perpres itu sendiri tidak akan mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh sektor ritel tradisional dan para pemasok lokal. Oleh karena itu, bersamaan dengan penerbitan perpres, juga harus ada upaya atau program paralel untuk memberdayakan pelaku usaha ritel tradisional atau pasar tradisional.

Termasuk di sini dengan pemberdayaan dan revitalisasi di tingkat produksi dan pascapanen. Antara lain, dengan menciptakan agroterminal yang sesuai dengan membangun pasar induk, pasar penunjang, di sisi hulu dari rantai suplai. Selain itu, membenahi jalur logistik dan distribusi ke pasar guna menekan biaya dan tingkat kerusakan yang dihadapi pemasok dan petani. Sekarang ini, diakui oleh Mari, yang dilakukan oleh pemerintah baru mengurangi jembatan timbang. Itu pun kini banyak yang hidup lagi.

Tujuan mewujudkan pertumbuhan yang seimbang antara peritel tradisional dan modern seperti hendak dicapai melalui penerbitan perpres, menurut Iqbal, hanya bisa diwujudkan jika ada keberpihakan nyata kepada peritel kecil dan pasar tradisional yang sekarang ini menyerap sekitar 12 juta tenaga kerja.

Di negara lain, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat sebagai lokomotif kapitalis liberal, sikap keberpihakan tersebut sangat nyata, yaitu melalui berbagai regulasi ketat yang diimplementasikan dengan tegas di lapangan. Salah satunya adalah pembatasan impor oleh pasar modern, dalam rangka melindungi petani dan pemasok lokal.

Hal ini, menurut Iqbal, juga relevan diterapkan untuk Indonesia, mengingat karena sebagian besar pasar modern di Indonesia sekarang ini masih sangat tergantung pada pasokan impor.

Manajemen buruk

Namun, keberadaan pasar modern sebenarnya bukan satu-satunya ancaman bagi pasar tradisional. Amburadulnya manajemen dan buruknya infrastruktur pasar, menurut SMERU, juga berperan besar sebagai penyebab kian terpinggirkannya pasar tradisional. Dalam beberapa kasus, pasar tradisional sendiri memang lambat berbenah, dihadapkan pada perilaku dan kebiasaan konsumen yang juga berubah sejalan dengan perkembangan zaman.

Secara fisik, pasar tradisional belum lepas dari gambaran kumuh, becek, tak aman, dan tidak nyaman. Pasar umumnya dalam kondisi merana. Ini juga terjadi di DKI Jakarta. Menurut PD Pasar Jaya dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), dari 151 pasar di Jakarta yang ada di bawah pengelolaan PD Pasar Jaya, 124 pasar dalam kondisi rusak. Sebanyak 111 di antaranya rusak berat atau sedang.

Dalam banyak kasus, pemda atau pengelola pasar hanya melihat pasar tradisional dan peritel tradisional sebagai sumber penerimaan asli daerah (PAD). Penarikan retribusi terhadap pedagang tidak diimbangi dengan perbaikan pelayanan.

Campur aduk masalah eksternal dan internal yang membelenggu pasar tradisional ini membuat tanpa pembenahan, dari parameter mana pun, pasar tradisional akan sulit berstahan dalam kondisi persaingan yang semakin sengit di pasar ritel. Sekarang ini, lebih karena ikatan psikologis yang sifatnya emosional, pasar tradisional belum sepenuhnya ditinggalkan masyarakat.

Selain akibat persaingan yang sifatnya alamiah, kalangan pedagang atau asosiasi pedagang pasar selama ini juga melihat adanya upaya sistematis untuk meminggirkan pasar tradisional yang selama ini berkonotasi kumuh oleh pemda dengan pengembang swasta dan ritel besar yang ada di belakangnya.

Dalam beberapa tahun, puluhan pasar tradisional, terutama yang berada di lokasi strategis, "terbakar" atau ada indikasi sengaja dibakar. Dalam kurun Juli-Oktober, menurut APPSI, rata-rata lima pasar terbakar setiap minggu. Tidak lama setelah dibakar, di tempat tersebut biasanya berdiri pusat perbelanjaan megah.

Revitalisasi atau renovasi pasar dengan mengatasnamakan kepentingan pedagang—tak jarang melalui penunjukan pengembang tanpa tender—dalam kenyataannya, menurut APPSI, sering kali "mengkhianati" pedagang lama yang sebelumnya ada.

Belakangan, menurut Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan APPSI Setyo Edy, bahkan muncul modus-modus baru menggusur pasar tradisional melalui kekerasan dengan mengerahkan aparat, seperti terjadi pada kasus Pasar Pondok Gede. Tanpa intervensi, keberpihakan dan pemberdayaan dari pemerintah, eksistensi pasar tradisional akan berada dalam tanda tanya besar.

Akan tetapi, tentu saja, program-program pemberdayaan seperti pada praktik masa lalu atau sekarang, jika tak hati-hati, juga bisa justru jadi bumerang. Yaitu menyerahkan program pemberdayaan kepada pihak swasta atau pengembang.

Kalau itu terjadi, sebagaimana banyak pengalaman selama ini, renovasi hanya kedok untuk menyingkirkan pedagang-pedagang yang sudah berjualan lama di sana. Jika ini terjadi, dampaknya akan luas secara sosial dan ekonomi.

Akhirnya, eksistensi pasar dan ritel tradisional sepenuhnya akan tergantung pada komitmen semua pemangku kepentingan dan keberpihakan pemerintah pada pasar serta sektor ritel tradisional yang notabene adalah tulang punggung penting ekonomi dan andalan dari 12 juta lebih penduduk. (Kompas, Sabtu, 03 November 2007)

No comments: