Wednesday, 12 December 2007

Saat Pasar Tradisional Harus Bertahan Hidup

Oleh Ika Karlina Idris

Maraknya pembangunan sejumlah hypermartket dan minimarket di sejumlah kota besar membuat pedagang pasar tradisonal khawatir. Minimarket yang menjamur di perumahan, rasanya hampir bisa ditemui di setiap Rukun Warga. Pasar yang tadinya dikuasai toko kelontongan, kini diambil alih minimarket.

Berdasarkan kajian arkeologis, ternyata sistem pasar sudah ada pada masa Jawa kuno, sekitar abad 8-11 masehi. Tentunya, masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Beberapa bukti prasati menyebutkan bahwa pada masa tersebut sudah ada pejabat yang mengurusi pasar.

Pada prinsipnya, pasar merupakan tempat para penjual dan pembeli bertemu. Apabila penjual dan pembeli sudah bertemu, maka barang-barang kebutuhan akan terdistribusikan. Selain sebagai pusat kegiatan ekonomi, pasar juga pusat kegiatan sosial budaya.

Secara umum, masyarakat mengenal dua jenis pasar, tradisional dan modern. Kedua punya ciri yang berbeda jika dilihat dari bangunan, tempat berjualan, dan sistem jual beli. Pasar tradisonal umumnya terdiri dari los atau tenda, tidak permanen, dan lingkungannya tak nyaman karena becek, kotor, bau, dan tidak aman. Sedang pasar modern biasanya memilki bangunan megah dan permanen, fasilitas memadai, nyaman, aman, dan harga yang tercantum pasti.

Menurut Semiarto Adji dari Ketua Pusat Kajian Antropolgi Universitas Indonesia, jika ekonomi masyarakat sederhana bertemu dengan masyarakat kompleks, maka masyarakat sederhana selalu dieksploitasi. Jika terus terjadi, lanjutnya, tentu akan ada kepunahan masyarakat sederhana.

Akan tetapi, menurut sebuah penelitian antropologi tentang pasar dan agama di Jawa Timur, tak usah khawatir pasar tradisional akan punah. Utamanya jika melihat aktivitas dan proses di sana.

Pada dasarnya, pasar merupakan arena sosial dimana para pelaku pasar membangun hubungan sosial yang terpola secara berkesinambungan. Jadi, masyarakat tak hanya menganggap pasar sebagai lembaga ekonomi. Sistem sosial yang ada di sana merupakan manifestasi masyarakat.

Pasar, dalam konteks tempat perdagangan, adalah bagian dari pola hidup tradisional. Sebagian besar pembagian dan sistem kerjanya bergantung pada hasil pertanian atau produk khas suatu wilayah. Makanya, pelaku pasar biasanya adalah produsen langsung atau masyarakat setempat, bukan pengusaha yang sengaja berinvestasi di sana.

Adapun mekanisme transaksinya sangat beragam, sesuai dengan produk yang ditawarkan. Semiarto memberi contoh pasar hewan yang ada di Sumatera Barat. Di sana, penjual dan pembeli memasukkan tangan ke dalam sarung dan setiap penawaran yang disebut dijawab dengan garakan tangan. Maksudnya, agar harga yang disepakati tak diketahui pedagang atau pembeli lain.

"Mekanisme ini kan sangat khas dan tidak dijumpai di daerah lain," kata Semiarto.

Selain itu, pasar tradisonal juga berfungsi sebagai tempat terjadinya asimilasi budaya, pusat komunikasi, hiburan, dan interaksi sosial. Dengan adanya kontak kebudayaan, akan terjadi difusi pengetahuan di antara orang-orang yang melakukan aktivitas di pasar

Aset Wisata

Menurut Direktur Tradisi Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film (NBSF) I G.N.Widja, banyak pasar tradisonal yang sebenarnya berpotensi sebagai aset budaya dan wisata. Tengok saja pasar Beringharjo di Yogyakarta yang menjual berbagai jenis dan peruntukan batik, pasar apung di Banjarmasin yang menjual kebutuhan sehari-harai, pasar Rawa Bening di Jatinegara, Jakarta, yang menjual batu akik untuk cincin, dan pasar barang antik di Jalan Surabaya.

"Jika dicermati, banyak pasar yang menunjukkan identitas budaya dari suatu masyarakat atau identitas tertentu. Jika ingin membeli produk lokal atau keperluan adat, pastilah datang ke sana," jelas Widja dalam jumpa pers yang digelarnya, Kamis, 22 Nopember.

Karena kekhasannya itulah, maka pasar tradisional berpotensi menjadi daya tarik wisata ataupun pengembangan budaya. Menurut Kasubdit Lingkungan Budaya Depbudpar M.A Dewi Indrawati, agar pasar tradisonal tak tergusur, ia harus dikelola dan dikembangkan dengan melihat kekhasan yang dimiliki.

Rencananya, pada 2010 akan dibuat proyek percontohan yang menjadikan pasar tradisional sebagai ikon sebuah kota. Untuk mematangkan konsep ini, Depbudpar akan mengadakan loka karya pada 28-30 Nopember di Jakarta.

Semiarto menambahkan, selain kekhasan, pasar tradisional juga memiliki faktor emosional. Biasanya, seseorang yang sudah merantau ke daerah lain akan datang ke pasar jika pulang kampung. "Kalau mau ke mall, belum tentu ada. Dan di pasar dia bisa menemukan barang yang menjadi khas daerah tersebut."

Pedagang ataupun orang yang terlibat dalam pasar tradisonal bisa mengembangkan barang-barang ikutan yang terkait dengan pasar. Misalnya saja membuat cinderamata atau memperkenalkan situs bersejarah yang ada di sana.
Ika Karlina Idris

Dimuat di Jurnal Nasional

No comments: